Suatu hari setelah melaksanakan rutinitas pagi (rapat perancangan),
saya melanjutkan rutinitas lainnya nongkrong di kedai kopi. Di sini, secara
kebetulan saya bertemu dengan kawan lama tampaknya sedang sarapan pagi.
Perbincangan kami pada hari itu dimulai dengan obrolan
ringan, seputar pekerjaan. Kawan saya memulai pertanyaannya bagaimana kok bisa
setiap hari di koran ada berita. Kalau dipikir-pikir sepertinya sulit. Dari
mana idenya dan cara menuliskannya. Lalu
saya menjawab, ada saja bahannya. Setiap hari pasti ada sumber berita, kalau
tidak bagaimana mungkin koran-koran bisa terbit setiap hari.
Okelah, kita tak perlu membahas bagaimana cara menulis
berita, karena itu adalah persoalan teknis. Tetapi, kita coba bahas bagaimana
mendapatkan ide tulisan dan bagaimana memulainya.
Masalah
Setelah merenung berhari-hari di ruangan yang sepi.
Bolak-balik dari ruangan satu ke ruangan lainnya, ke kamar mandi. Tetapi, kok
ide tidak muncul-muncul juga ya. Apa tema yang akan kita angkat hari ini untuk
dijadikan tulisan? Kembali lagi, pergi ke taman, duduk dan merenung. Tidak juga
ketemu ide. Di manakah ide itu? Ternyata ide tidak kemana-mana dia ada di situ
tu.
Ide tidak akan kita dapatkan kalau hanya duduk diam, tanpa
berusaha untuk keluar berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Baik itu manusia,
hewan, tumbuhan dan bahkan berinteraksi dengan makhluk tidak hidup. Satu hal
yang perlu dicatat, apa pun yang akan kita tulis pasti akan berhubungan dengan
manusia. Kenapa, karena pembacanya adalah manusia. Misalnya ketika kita menulis
tema tentang hutan, hewan langka, pasti ujung-ujungnya ada manusia. Seperti,
pemburu, pembalak sudah pasti pelakunya manusia, yang akan merasakan dampaknya juga
manusia. Karena itu, sesekali berkomunikasilah
dengan manusia, bertanya dan dengarkan dengan seksama. Sebab, apa pun yang
akan kita tulis akan berkaitan dengan manusia.
Masih bingung juga nih, mendapatkan idenya bagaimana?
Baiklah, tadi kita sudah membahas bahwa setiap tulisan pasti akan berhubungan
dengan manusia. Lalu bagaimana mendapatkan idenya? Jawabannya adalah masalah.
Untuk membuat tulisan kita harus mengetahui permasalahannya, pokok masalahnya,
latar belakang masalahnya. Oke kita sepakati dulu, harus ada masalah. Namun,
masalah yang dimaksud tidak melulu masalah yang membuat puyeng (pusing).
Masalah yang dimaksud, bisa positif dan juga bisa negatif. Tulisan akan menjadi menarik kalau diawali dengan permasalahan.
Cotoh: Ribuan hektar lahan persawahan yang digarap
penduduk, sekarang sudah beralih fungsi menjadi pemukiman. Dulu daerah setempat
yang terkenal sebagai penghasil beras dan pengekspor beras, sekarang sudah jadi
daerah pengimpor beras. Petani penggarap (buruh tani) harus kehilangan
pekerjaannya sebagai petani dan terpaksa beralih ke pekerjaan lain yang
sebenarnya bukan keahliannya. Bukan kah ada masalah di sini? Dari
pengekspor,jadi pengimpor. Kebudayaan turun temurun sebagai petani, harus beralih
ke kebudayaan lain yang baru.
Atau masalah lainnya. Suatu desa yang awalnya gelap
gulita, sejak ada program listrik tenaga surya, sekarang sudah jadi desa terang
berderang. Masalahnya apa? Masalahnya dulu ketika manusia di desa itu
menggunakan lampu templok dan remang-remang sekarang sudah menjadi desa yang
terang. Warga desa sangat bergembira. Ada berapa jiwa penduduk desa yang
menikmati program listrik tenaga surya. Harus diingat masalah tidak harus negative
yang bisa membuat kepala jadi pusing, tetapi juga bisa berbentuk kegembiraan.
Kumpulkan
Bahan
Meskipun kita sudah berkeliling, dari ujung dunia ke
dunia, jika tidak mampu menangkap persoalan/permasalahan, ide tulisan tidak
akan kita temukan. Karena sebenarnya ide itu ada di mana-mana, mulai dari kita
bangun tidur hingga ke tidur lagi.
Tadi kita sudah menemukan permasalahan. Seperti pada contoh,
lahan persawahan berubah menjadi pemukiman. Cringgg….! Inilah ide tulisannya,
tinggal bagaimana kita mengemasnya ke dalam bentuk tulisan, baik itu akan
ditulis ke bentuk opini, essai atau
fiksi. Lalu bagaimana lagi? Kumpulkan
bahan.
Setelah kita menemukan permsalahan, tugas kita adalah
mengumpulkan bahan. (Bahan untuk tulisan lho, bukan bahan bangunan, hehehe… :p
). Banyak cara mengumpulkan bahan. Di antaranya, kuasai medan. Pahami dan
rasakan bagaimana kondisi lingkungannya, karakter/psikologis warganya
(interaksi langsung). Karena dengan berinteraksi langsung, kita bisa lebih merasakan
dan apa bila dituangkan dalam tulisan, pembaca dapat pula merasakannya
seolah-olah sedang berada di desa tersebut. Lalu, lakukan wawancara langsung dengan
warga setempat, tokoh masyarakat setempat, tokoh adat, tetua desa setempat. Kemudian,
kepada pemerintah setempat, dinas/instansi terkait dan sebagainya. Lalu, penting
juga sebagai data tambahan kita melakukan wawancara dengan warga sekitar desa
atau warga lainnya yang tidak berdomisili di desa itu. Kemudian, mencari
referensi dari buku-buku, peraturan daerah, koran dan sebagainya.
Setelah bahan lengkap, koral, semen, batu bata, seng dan
lainnya itu terkumpul , tinggal pembangunannya. Sebelumnya, tentu kita sudah
merancang bagaimana bentuk bangunannya. Setingkat, dua tingkat atau empat
tingkat. Jika kita ingin membangun empat tingkat, sudah pasti bahan yang
dibutuhkan lebih banyak ketika kita membangun satu tingkat. Maksudnya, kita
sudah menentukan betuk tulisan apa yang diinginkan, opini, essai, cerpen atau
novel. Setelah kita menentukan bentuk tulisan, kebutuhan bahan harus kita cukupi. Bagaimana jika di tengah
jalan ternyata kurang? Ya, kita cari lagi bahan yang kurang tadi. Kalau lebih?
Alhamdulillah, yang penting jangan sampai kurang.
Memulai
Rancangan tulisan sudah, bahan sudah, lalu apa lagi? Memulai. Layaknya kita membangun rumah,
bahan-bahan mentah tadi harus mulai diolah, sehingga menjadi bangunan. Walau
pun bahan cukup, lengkap, tulisan tidak akan jadi jika kita tidak memulai untuk
menuliskannya. Terserah, mau memulainya dari mana, sesuai dengan bahan yang
kita punyai.
Contoh 1. Aku
sudah tak bisa lagi melihat bukit-bukit kecil di ujung pematang, seperti dulu.
Tatapanku kini membentur tembok bangunan milik orang asing, yang tidak pernah
kami lihat bagaimana raut wajahnya. Menurut cerita, pemilik bangunan itu
tinggal di Jakarta.
Contoh 2. Budi adalah teman kecilku dulu. Entah di mana
dia sekarang? Kami dulu sering bermain di sini. Sampai akhirnya, Pak Arman,
guru mengaji kami datang dengan sepeda kumbangnya. Di musholah ini, anak-anak
belajar mengaji setiap sore menjelang magrib.
Untuk sampai ke musholah, kami harus melewati pematang
sawah. Ya, namanya, anak-anak, Budi kadang jahil, dia suka mendorong temannya
hingga terperosok ke sawah. Karena kotor, terpaksa pulang ke rumah ganti pakaian
lalu datang lagi ke musholah. Kami bukannya kasihan, justru tertawa
terpingkal-pingkal.
Kini semua sudah berubah, tak ada lagi Budi, maupun
kawan-kawan yang dulu. Tak ada lagi pematang sawah. Hanya musholah ini yang tak
pernah berubah, dari dulu hingga kini.
Contoh 3: Terserah mau ditulis bagaimana,hehehe.
Demikian, tulisan ini bukan mengguri, bukan pula
mengajari. Hanya sekedar berbagi pengalaman.
Salam
Penulis: Iman Kurniawan, tinggal di Curup, Provinsi Bengkulu.
0 komentar:
Posting Komentar