Tulisan

Terbaru
Home » » Sampan Kuweni

Sampan Kuweni

Oleh kami, dulu, ia disebut tukang cerita. Bersamanya dan bersama cerita-ceritanya, gerak waktu tak lagi terasa. Tiba-tiba saja sudah petang. Tiba-tiba saja sudah tengah malam. Tiba-tiba saja sudah pagi. Ia tak pernah bercerita dari pagi sampai siang. Pagi sampai siang itulah waktu yang terbaik baginya memanjakan diri. Tidur. 
Di antara kami berlima, mahasiswa penghuni rumah kontrakan di Gang Pisces nomor 32, Jalan Nitikan, Jogjakarta, ia yang paling tua. Kami memanggilnya Bang Yan. Perawakannya kurus, tinggi di bawah rata-rata dengan tato kupu-kupu di pinggang. Katanya, kupu-kupu itu simbol kejantanan. Entah darimana ia punya tafsiran yang berlawanan dengan pendapat kebanyakan orang.
Ia memang berbeda. Juga cerita-ceritanya. Sudah puluhan tahun kami tidak berjumpa, sejak satu persatu di antara kami diwisuda dan pulang ke kampung halaman masing-masing.     
Kalau kau ingin tahu cerita-cerita Bang Yan, sabarlah, nanti aku ceritakan. Sudah sebulan ini aku menuliskan cerita-cerita yang dulu diceritakan Bang Yan, untuk kuceritakan padamu. Dan malam ini, sedang aku memilih cerita yang pertama kali akan kuceritakan padamu, Bang Yan meneleponku. Besok pagi ia tiba di kotaku. Menjadi pemateri dalam seminar yang ditaja Ikatan Pengusaha Muda Riau di Mayang Garden Pallace, Pekan Baru.     
“Kerjaku masih tukang cerita, Ben,” tawanya di telepon. “Dan berbayar, tentu.
Rupanya, kemampuan Bang Yan mengolah dan menyampaikan cerita secara lisan menjadikannya seorang motivator pada berbagai bidang profesi, di banyak kota.
Melalui telepon, kusampaikan niatku menuliskan cerita-ceritanya. Ia menyambut baik niat itu. Ia memintaku menemuinya pada malam usai seminar.           
***
Inilah cerita pertama yang disarankan oleh Bang Yan untuk kuceritakan padamu. Sampan Kuweni.      
Pada hari minggu, Wawan, tidak seperti kebanyakan anak-anak lain di dalam lagu, ia tidak turut ayah ke kota; Wawan turut ayahnya ke hutan. Ia duduk di muka, tapi, bukan naik delman istimewa di samping Pak Kusir yang sedang mengendalikan kuda; Wawan duduk di batang sepeda milik ayahnya di tengah kedua kaki ayahnya yang sedang mengayuh sepeda.
           
Jarak tempuh dari rumah mereka ke hutan ada sepanjang lima kilometer. Jalan yang mereka lewati tidak beraspal. Berkelok-kelok, menurun dan mendaki. Becek dan licin dan berlumpur, di musim hujan.
Hujan semalam tidak menyisakan gumpalan awan. Bintang-bintang masih terlihat bertaburan di bentang langit subuh. Fajar perlahan menyibak pagi. Udara terasa basah. Dingin. Wawan merapatkan punggungnya ke dada ayahnya, menahan gigil. Kedua lengan ayahnya mengepit bahu Wawan, memberi hangat.
Beberapa kali ayahnya terpaksa turun dari sepeda saat melewati jalan yang becek dan licin, Wawan dibiarkannya tetap duduk di batang sepeda, sementara, ayahnya, berjalan menuntun dan menjaga keseimbangan sepeda itu agar tidak jatuh. Beberapa kali roda sepeda itu terperosok ke dalam lumpur dan ayahnya harus mendorong lebih kuat agar roda sepedanya terlepas dari cekalan lumpur itu, sedang Wawan, tidak dibolehkannya turun dari sepeda.
Memasuki bibir hutan, pagi pun terang. Wawan meminta turun dari sepeda dan berjalan dibelakang ayahnya yang turut pula berjalan, mengikuti kemauan Wawan, sambil menuntun sepeda.
Wawan menyibak semak-semak yang masih basah di pinggir jalan. Sesekali ia keluar dari badan jalan, masuk menembus semak-semak itu, menjauh dari ayahnya, mencari buah nasi-nasi dan buah karamunting yang lagi musim berbuah. Ayahnya mengingatkan agar berhati-hati. “Matamu harus awas sebelum kamu masuk semak, ular suka bergelung disitu.”
Wawan selalu waspada. Ia mematahkan batang ubi yang agak besar yang ditemukannya dipinggir jalan untuk menyibak gundukan semak yang rimbun sebelum ia masuk kesitu, memastikan tidak ada bahaya yang mengancam yang tiba-tiba saja dapat menyerangnya. Bila pun ia menemukan ular, Wawan siap menghadapinya. Kata ayahnya, batang ubi itu berbisa, ular bisa mati seketika bila dilecut dengan batang ubi. Kalau kau tidak percaya, jangan coba-coba.
Sampai di dalam hutan, saat ayahnya sibuk mengumpulkan kayu-kayu yang akan dibawa pulang untuk dijual dan dijadikan kayu bakar, Wawan masih disibukkan oleh semak-semaknya. Buah nasi-nasi dan buah karamunting yang mengundangnya pagi itu ikut ke hutan bersama ayahnya belum juga didapatnya. Ada yang ditemukan Wawan,tapi, masih muda dan pahit.

Burung-burung bernyanyi riang. Seriang hati Wawan. Entah siapa yang paling senang. Entah burung-burung itu, entah Wawan. Kedua makhluk itu menyatu dalam kebesaran hutan yang tenang dan damai.
Saat sedang berada di hutan, semangat Wawan menjadi berlipat-lipat. Ia berlari-lari dari satu semak ke semak lainnya. Masih mencari buah nasi-nasi dan buah karamunting. Bilah-bilah sinar matahari yang mulai menembusi rimbunan dedaunan di puncak pohon-pohon hutan tidaklah sampai menyengat di kulit. Udaranya bersih dan segar, sehingga, sebanyak apa pun energi yang terbakar, rasa capek tidak sampai mengantar pada kelelahan.
Wawan menemukan banyak buah nasi-nasi dan buah karamunting. Dari sebanyak yang ia temukan, sebanyak itu pula yang belum matang. Rupanya, buah-buahan belukar itu baru mulai berbuah. Berat kecewa yang dirasakannya andai saja ia tidak melihat sebiji kuweni yang telah matang baru saja jatuh dari tangkainya, tepat beberapa langkah di depannya. Setelah memungut kuweni itu, sambil mencium wanginya, Wawan memandang ke atas. Pohon kuweni itu sedang berbuah lebat.
Girang hati Wawan berlari menuju ayahnya membawa sebiji kuweni. Melompati semak-semak yang tadi dilewati. Memanggil-manggil ayahnya sambil mengacung-acungkan temuannya itu.
Ayahnya baru saja selesai mengikat potongan-potongan kayu yang masih basah menjadi beberapa ikatan, saat Wawan tiba di dekatnya. Wawan memberikan kuweni itu pada ayahnya dan minta ayahnya mengupasnya.
“Nanti saja di rumah, kita makan sama ibumu,” bujuk ayahnya. “Yang ini kita makan disini, Yah. Untuk ibu nanti kucarikan lagi,” rengek Wawan merayu. Ayahnya mengalah dan mengajak Wawan duduk di sebatang pohon besar yang sudah tumbang.
“Nanti, bijinya kita bawa pulang,” kata ayahnya sambil mengupas kulit kuweni itu pelan agar daging buahnya tidak banyak terbuang. “Untuk apa, Yah?” tanya Wawan menelan ludah membayangkan daging buah kuweni yang manis dan berair itu menyentuh kerongkongannya. “Kita tanam,” jawab ayahnya juga menelan ludah. “Betul, Yah, nanti kalau berbuah, kita bisa makan banyak-banyak di rumah, bersama ibu,” senang hati Wawan membayangkan pohon kuweni berdiri di halaman rumahnya.

“Ya,” kata ayahnya. “Dan biji-biji kuweni yang sudah kita makan kita tanam lagi. Kita akan punya banyak batang kuweni. Lalu, batang kuweni yang sudah tua kita tebang dan kita bikin sampan.” Ayahnya membayangkan sampan yang ia buat sendiri dari batang kuweni. “Ayah punya sampan dan tidak perlu mencari kayu bakar,” sambung Wawan membayangkan dirinya mengayuh sampan kuweni itu mengarung sungai bersama ayahnya.
“Pintar. Kamu bisa ikut Ayah pergi menjala dan memukat.”
“Kita pulang bawa ikan yang banyak.”
“Kamu bisa makan ikan tiap hari.”
“Aku jadi tambah pintar. Kata guruku di sekolah, makan ikan tiap hari bisa menambah kepintaran, lho, Yah.”
“Kamu nanti duduk di depan, Ayah mengayuh sampan dari belakang,” senyum ayahnya menirukan cara mengayuh sampan di atas pohon tumbang tempat mereka duduk. “Tidak, Yah, aku yang mengayuh,” bantah Wawan ikut-ikutan menirukan cara mengayuh sampan. Gerakannya lebih cepat dari gerakan yang dilakukan ayahnya.
“Kamu masih kecil. Belum kuat kamu,” suara ayahnya meninggi.
“Tapi, Ayah sudah tua, tenaga Ayah sudah lemah,” seru Wawan tak mau kalah.
“Ayah lebih berpengalaman,” bentak ayahnya.
“Kalau aku tidak belajar, kapan aku bisa mengayuh,?” protes Wawan.
“Pokoknya Ayah yang mengayuh, nanti!” sergah ayahnya.
“Aku!”
“Ayah!” bentak ayahnya.
“Aku!” rengek Wawan menahan isak.
“Kamu tidak boleh membantah Ayah!”
“Aku yang menemukan kuweni itu, berarti aku yang punya sampannya,” isak Wawan.
“Kamu tidak akan bisa bikin sampan. Karena Ayah yang bikin, sampan itu jadi milik Ayah.” Lagi-lagi ayahnya membentak.
“Aku bisa mengupah orang bikin sampan.”
“Uang dari mana?”
“Ayah lihat saja nanti, aku pasti banyak uang,” tangis Wawan meledak. Ia tidak terima bila nanti sampan yang dirasanya menjadi haknya itu dikuasai ayahnya.
“Ayah jahat. Ayah tidak punya hak pada sampan itu,” teriak Wawan di depan ayahnya.
“Apa? Kamu berani melawan aku? Berani kamu bentak-bentak aku?” geram ayahnya membanting buah kuweni di tangannya yang baru separuh kulitnya selesai dikupas.
“Kenapa kuweni itu dibuang?” Wawan berdecak pinggang menentang mata ayahnya. Tak pelak,melihak sikap Wawan yang dirasanya makin kurang ajar, tangan ayahnya melayang mendarat di pipi Wawan. Wawan meraung kesakitan. “Masih kecil kamu sudah berani melawan aku,” hardik ayahnya. “Dasar anak tak tahu berterima kasih.”
Kemarahan ayah Wawan benar-benar memuncak. Darahnya naik ke ubun-ubun. Tak kuasa ia menahan tanganya sekali lagi melayang ke pipi Wawan. Wawan menjerit dan berlari meninggalkan ayahnya yang lantas berkemas, menaikkan kayu-kayu yang sudah diikatnya ke batang sepeda. “Pergi kamu. Jangan kembali lagi ke rumah. Aku tak sudi punya anak durhaka seperti kamu,” teriaknya pada Wawan yang terus menjauh. 
***
“Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, Wawan terus berlari, melintasi sungai, melintasi selat dan samudra, meninggalkan ayahnya, meninggalkan ibunya, meninggalkan kampung halamannya. Wawan berlari sambil mengumpulkan sebanyak-banyaknya buah kuweni, mengumpulkan biji-biji kuweni itu kemudian menanamnya di semua desa dan di semua kota dan di semua negara yang pernah dilewati dan disinggahinya.
Pohon-pohon kuweni itu tumbuh subur dan berbuah lebat. Siapa saja yang menginginkan buah kuweni itu dipersilahkannya mengambil sendiri. Wawan menyarankan kepada semua orang yang memakan buah kuweninya untuk menanam lagi biji kuweni itu. Sedang batang-batang kuweni yang sudah tua ditebangnya, dibuatnya sampan dan diberikannya kepada siapa saja yang membutuhkan. Wawan sudah punya sampan sendiri untuk dikayuhnya sendiri. Ia tak perlu lagi meributkan dengan siapapun siapa yang boleh dan tidak boleh mengayuh sampan itu.
Wawan tidak lagi berlari sejak punya sampannya sendiri. Ia tinggal mengayuh sampannya kemana saja hatinya ingin pergi. Kecuali satu, kampung halamannya. Ia tidak tahu dimana kampung halamannya. Ia tidak tahu dimana tempat ia bisa memeluk ayah dan ibunya yang sangat dirindukannya. Entah, ayah dan ibunya masih hidup.” Pantas saja Bang Yan menjadi motivator yang digandrungi. Gaya tuturnya yang tegas saat menceritakan lanjutan kisah Wawan, yang baru kali ini diceritakannya usai ia membaca ceritanya yang kutulis, sangat membius.
“Apakah sambungan dari cerita itu perlu kutuliskan, Bang?” tanyaku dengan sangat antusias setelah mendengar Bang Yan berkisah.
Sejenak Bang Yan terdiam. Matanya memejam. Lantunan soundtrack film Gie yang dinyanyikan Okta yang tengah diputar pelan di Mayang Garden Cafe seperti merasuk ke dalam dirinya. Usai lagu itu diputar, baru Bang Yan meresponku. “Terserah kau saja, cerita itu jadi punyamu.”
“Baiklah,” kataku.
“Wawan itu, Ben, juga aku, dan kita, adalah perantau yang asing akan kampung halaman,” ujar Bang Yan perlahan seakan sedang memikirkan simpul-simpul dari kisah sampan kuweni dan ingin menyampaikannya seketika. “Kita bisa saja mengakui tanah tempat kita dilahirkan dan dibesarkan sebagai kampung halaman, tapi, kita tidak bisa selamanya mempertahankan tanah yang kita akui sebagai kampung halaman itu. Seketika, kapan saja, atas alasan apa saja, masuk akal atau tidak, dan oleh siapa saja, kita bisa saja diusir.”
“Seperti Sidoarjo, Bang.”
“Seperti Jakartanya orang Betawi.”
“Seperti Indonesia.”
“Ben, yang akan kusampaikan ini penting. Boleh kau tulis dalam cerita-ceritamu, boleh kau simpan saja untuk dirimu.” Bang Yan menyeruput kopinya. “Kita, manusia, dilahirkan dari orang usiran. Sebagai keturunan orang usiran, kita, ditakdirkan menjadi pembangkang. Seperti Wawan, ia membangkang pada pikiran ayahnya yang menganggap sesuatu yang belum ada seperti sudah di depan mata. Pembangkangannya itu membawanya pada kemuliaan hidup, kuweni-kuweni yang ia kumpulkan dan ia tanam dapat memuaskan orang-orang yang memakannya. Dan sampan-sampan dari batang-batang kuweninya berguna bagi banyak orang. Maka, hiduplah di dalam tulisan-tulisanmu, sebagaimana Wawan hidup dalam pikirannya, dan sebagaimana aku hidup dalam cerita-ceritaku.”
Malam ini, rupanya, masih milik Bang Yan, seperti dulu, saat kami tinggal dalam satu rumah kontrakan. Otakku dicucinya habis-habisan. “Ah, Ben, jangan kau tuduh aku sedang mencuci otakmu,” bahak Bang Yan melihat aku manggut-manggut. “Coba kau ingat-ingat lagi sejarah peradaban manusia yang pernah kau baca. Siapa tokoh yang sampai hari ini masih berpengaruh yang bukan pembangkang?”
“Para Nabi, orang-orang suci, filsuf, sastrawan, ilmuwan, siapa lagi, mereka semua pembangkang. Mereka membangkang pada keadaan, mereka membangkang pada sistem yang menindas dan membodohi kaumnya, mereka membangkang pada pemilik sistem itu dan kepada para pendukung sistem itu.”
“Tapi, aku tidak bisa membangkang padamu malam ini, Bang,” tawaku.
“Jangan pula kau membangkang padaku. Membangkanglah pada pikiranmu dulu, yang membuatmu terhalang untuk maju.”
“Jangan pula kau meledek aku, Bang, tersinggung aku, Bang,” kataku tertawa disambut tawa Bang Yan.
“Ben, sebagai seorang pembangkang, seharusnya hidup kita ini seperti Nuh, seperti Wawan, hidup untuk memiliki sampan bagi diri kita dan orang-orang yang mengharapkan keselamatan. Bila banjir bah itu tiba, sampan itulah yang akan melayarkan kita menuju keselamatan pulang ke kampung halaman yang sesungguhnya.” Bang Yang manggut-manggut seperti sedang mengulang kalimat-kalimat yang baru diucapkannya.
“Dihafal, ya, Bang?” ledekku. “Ah, kau, mau tahu saja.” Lalu, kami tertawa lagi.
Setelah kopi kami habis, aku menantang Bang Yan membangkang pada tubuh kami yang sesungguhnya sudah tak kuat lagi menahan angin malam, di usia kami yang mulai senja. Bang Yan menurut. Kami pun meninggalkan Mayang Garden Cafe, berjalan di sepanjang Jalan Sudirman yang mulai lengang.
Ternyata, menjadi seorang pembangkang itu menyehatkan. Selama bertahun-tahun, bila aku terlambat tidur malam atau berada lama di ruang ber-AC atau terkena angin malam, batuk berlendir akibat asma yang kuderita akan bertambah-tambah. Tetapi, malam ini, selagi Bang Yan ada di kotaku, aku tidak akan membiarkan penyakit itu menguasai tubuhku. Aku harus membangkang pada penyakit yang kuderita. Membangkang pada keringkihan tubuh tua ini. Dan pembangkanganku malam ini sangat ampuh. Tidak sekalipun aku batuk dan nafasku sesak selama kami berjalan di kelengangan malam kota Pekan Baru yang berangin. Tak ada lelah menggantung di dalam langkah-langkah kami.
Kau boleh mencobanya, tapi, bila kau tidak percaya, dan kau tidak tahu akan apa dan pada siapa kau membangkang, sudahlah, jangan coba-coba.

Umamotu batubelah, 260813
(Iben Nuriska)


           
           
           
           


1 komentar:

  1. Wah cerita yang disampaikan pembelajaran banget. Menginspirasi..
    Bang ben ini cerita si wawan masih ad lanjutan kah? Aku penasaran.. boleh dipost lagi bang kelajutannya?? Share pliss. Berasa didongengin

    BalasHapus