Tulisan

Terbaru
Home » » Korek

Korek



Korek

Oleh : Iben Nuriska

Jam tujuh malam. Listrik padam. Padahal, katanya, PLN berjanji tidak akan melakukan pemadaman tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Kelam. Seperti kekasih ingkar janji. Hidup hilang terang. Tanpa bayang-bayang.
Di  luar, langit kian kejam membentangkan tapak-tapak hitam dan mengancam. Mendesak udara di kolongnya bergerak memutar, perlahan lalu kencang. Nada-nada bencana di awal pancaroba. Melabrak, menabrak dan merusak apa saja yang ada di dekatnya.
Aku tercekat. Semakin merapat. Membenamkan tubuh ke kasur kapuk yang kainnya di sana-sini telah lapuk dan menganga. Membenamkan rasa takut ke dalam genang do’a yang mengalir dari komat-kamit mulutku. Menghiba agar rumah tuaku yang terbuat dari kayu hutan yang murah tidak sampai diporak-porandakan terjangan puting beliung.
Sebagai orang yang percaya adanya Tuhan, saat-saat yang mengancam seperti ini adalah saat-saat dimana aku merasa sangat dekat denganNya. Merasa do’aku tidak kalah khusuk dan makbulnya dengan do’a orang-orang sholeh. Dan inilah puncak keta’atan hamba kepada Pemilik Hidup, hampir tak berjarak dan sangat dekat. Dan pemaafan diriku atas kesalahan dan keingkaran yang selama ini berulang kulakukan adalah awal pengampunan Tuhan atas segala dosa-dosaku. Dan Tuhan pasti mendengar dan mengabulkan do’a orang-orang yang diampuniNya. Aku sangat mempercayai hal itu.
Dan benarlah begitu. Lima menit berlalu. Waktu yang singkat dan terasa sangat lama telah menimbulkan kekacauan di kampungku.
Di sela rintik hujan, aku mendengar tetanggaku mulai hingar. Aku keluar,. Menyaksikan betapa hebatnya angin yang baru saja hilang menumbangkan pohon-pohon besar dan menerbangkan sebagian besar atap-atap rumah-rumah tetangga di depan rumahku. Dan ajaibnya, rumahku sama sekali tidak memiliki tanda bahwa disini baru saja terjadi petaka.
Hujan menderas. Orang-orang bergegas. Kembali ke peraduan masing-masing. Membiarkan sisa-sisa terbiar sampai esok terang tiba dihelat sang fajar.
Aku pun begitu. Kembali ke rumah. Mendapati padatnya kelam. Dan tak seperti biasanya, ketika lampu padam, aku tidak mengumbar umpat untuk petugas jaga di gardu induk PLN. Baru kali ini aku berterima kasih atas pemadaman yang sering dilakukan. Malam ini mereka menjadi pahlawan di hatiku. Seandainya listrik tetap menyala, tentunya akan menambah bahaya.
Aku ingin menyalakan lilin. Biar sedikit bercahaya. Aku mencari-cari dan mencoba mengingat-ingat di mana terakhir aku menaruh korek. Selalu saja begitu, setelah menyulut batang terakhir rokok kesukaanku, aku lupa menempatkannya di tempat yang mudah aku temukan. Keteledoran yang belum mampu kuubah. Dan pastinya, aku sendiri yang susah.
Aku meraba-raba diantara tumpukan kuas dan cat yang bertaburan di lantai ruang tengah rumahku. Menerka-nerka setiap benda keras dan padat. Bergiat untuk segera menemukan yang kubutuhkan. Gedubrak. Aku menabrak tripod penyanggah kanvas. Jatuh menimpa lukisan berlusin yang belum sekalipun terjual, ikut menimbulkan gaduh.
Duh. Dimana tadi kutaruh? Korek bekas pun jadilah. Asalkan geretannya masih memercikkan bunga api. Tanpa lilin tak apa. Sedikit cahaya saja pun jadi. Dan sepercik itu pasti cukup menjadi pemandu aku kembali berlabuh di kasurku yang lusuh. Menghimpun energi melalui bunga-bunga tidur sebelum waktuku layu.
Terpaksa aku merapat ke dinding rumah. Bermatakan hati, berhati-hati masuk menemu pintu masuk bilik. Lega rasanya saat tubuhku mendarat di ranjang. Kini saatnya mempersingkat umur. Tidur.
Dan mataku yang tak terbiasa mengatup pada jam-jam segini menjadi terpaksa kututup. Pikiranku masih fokus pada korek yang gagal kutemukan. Aku membalik-balik tumpukan kejadian yang menumpuk di lemari ingatan. Seingatku, setelah membubuhkan tanda tangan pada lukisan yang kuberi judul kaki kaku hati haru, aku menyalakan rokok sambil menghembuskan kepuasan bersama dengus lelah. Setelah itu, aku bangkit dan mengambil sketsa wajah Anita. Aduh, korek itu ternyata kutinggal di samping lubang tempatku membakar sketsa wajah itu.  
Di pinggir lubang pembakaran itu ternyata aku meninggalkan dua sumber cahaya.
Yang pertama, Anita. Pesona yang kubiar. Keinginannya menghampar dalam pelukku tak pernah kuhirau. Dan dalam ketersesatanku aku tak ingin menyinggahi perkebunan buah yang ia sediakan untuk mengobati dahaga dan lapar yang menjadi kawan sejati dalam kesunyianku sehari-hari.
Aku tak ingin bersamanya meski ia tak pernah menuntut apa-apa. Tapi, tuntutan yang bersarang dalam diriku terlalu kuat untuk kulawan. Aku tak ingin bersama siapapun sebelum aku bisa menyuguh bahagia baginya. Dan akhirnya, dengan sepenuh kesadaran yang ia miliki, Anita pun pergi meninggalkan kenang yang kugoreskan dalam sketsa wajahnya yang kubakar tadi menjelang senja.
Dan sumber terang yang kedua adalah korek. Sumber api yang baru saja kucari-cari. Dan ternyata ikut terbiar seperti hidupku yang tidak lama lagi akan terkapar. Seperti aku meninggalkan korek itu di pinggir lubang, begitu juga aku nanti akan dihantar dan ditinggal menuju lubang keberangkatan.
Aku jadi teringat kawanku di Jogja. Wage Daksinarga, pentolan kelompok teater berbahasa Jawa. Komunitas yang menjadi awal ledakan besar yang membelokkan arah cita-cita dan menjadi sumber masalah terbesar dalam hidup dan keluargaku. Setelah berkenalan dengannya dan mengabdi di sanggar yang ia pimpin, aku meninggalkan bangku kuliah dan merintis jalan sebagai seniman.
Sebelum aku utuh diterima menjadi anggota dari teater yang diawakinya hingga aku menjadi sutradara untuk beberapa kali pementasan, Wage mengingatkanku. Seniman itu bukanlah seperti yang kebanyakan seniman itu sangkakan. Mereka bukanlah api penerang kehidupan. Seniman itu tak ubahnya bagai percikan bunga api dari geretan korek saat kita hendak menyalakannya. Apakah bunga api itu akan menjadi api, tergantung seberapa banyak gas yang masih tersedia dalam tabung korek itu. Lalu, tidak serta-merta api itu berguna. Api akan menjadi seperti semestinya kalau orang yang menyalakan korek itu menggunakannya dengan baik. Dan percikan bunga api saat kita menggeret korek itu juga bisa menjadi penunjuk jalan. Tapi tak lama. Setelahnya gelap akan menyertai.
Setelah mendapat wejangan dari Wage, aku mengerahkan semua daya dan upayaku belajar memahami laku hidup sebagai seorang seniman. Belajar tak kenal lelah, meski harus terpecah dari keutuhan keluarga. Karena tak adanya restu dari kedua orang tuaku, aku harus menjadi nakhoda bagi pelayaranku sendiri. Dan aku belum tahu di mana nanti melempar sauh.
Aku hanyut dalam keasyikan hidup bersama keluarga baru di komunitas itu. Dan bersebab besarnya tantangan dalam diriku untuk menjadi, aku menutup diri dari segala hal yang akan membuatku lalai. Aku menjadi buta tentang cinta kepada wanita. Aku terbiasa berlaku sunyi. Tercerabut dari hidup yang lebih menawarkan tawa dan bahagia. Meninggalkan tugas belajar dari pemerintah daerah tempatku mengabdi untuk menyelesaikan studi Strata Satu agar aku segera naik pangkat, seperti yang sangat diidam-idamkan kedua orang tuaku.
Namun, sekuat-kuatnya karang yang kutanam dari serbuan godaaan hidup orang kebanyakan, pertahananku sering rubuh dan aku menjadi sering menangis. Merintih. Bukan karena kepahitan hidup yang ringkih. Tapi lebih disebabkan rindu pada mata letih mama. Tapi jalan telah kupilih. Berbalik arah berarti kalah. Biarlah dalam do’a kita berjumpa, mama.
Keputusanku merintis rintih sebagai seniman, dari panggung ke secarik kanvas, bukanlah karena dilambungkan angan menjadi api kehidupan. Aku hanya ingin menjadi bunga api dari geretan korekku sendiri bagi hidupku sendiri. Menyuluhku menuju jalan kebenaran.
Dan aku jadi menginginkan korek yang tadi kutinggalkan. Sekarang. Aku ingin menggeretnya. Aku ingin menyalakannya. Membakar sumbu rindu yang telah sekian lama kubenamkan jauh-jauh ke dasar pikiranku. Menjadikan percikan bunga apinya sebagai penunjuk jalanku pulang. Bersimpuh di kaki mama. Menuju Tuhan.

umamotu batubelah, 150410

*Penulis berproses bersama Teater Roeang 28 sejak tahun 2001. Telah menerbitkan buku kumpulan cerpen “Pesan Wak Diran” (2013). Cerpen-cerpen dan puisi-puisi penulis juga terpublikasi di Riau Pos, Riau Mandiri, Tabloid Sanggam, Kumpulan puisi Riau Pos 2013 “Ayat-ayat Selat Sakat, Kumpuluan puisi penyair muda Riau (2008), Antologi Cerpen Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan (2010), Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan (2010).













0 komentar:

Posting Komentar